Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali.
Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.
DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.
Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.
Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.
Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta.
Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.
Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.
Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap.
Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.
Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.
14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian?
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali.
Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.
DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.
Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.
Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.
Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta.
Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.
Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.
Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap.
Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.
Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.
14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian?
http://tangisantanah.blogspot.com/2009/05/sejarah-opm-organisasi-papua-merdeka.html.
Irian Jaya1987, saat it pasukan komando diterjunkan di bumi cendrawasih dengan tugas membendung aksi separatisme yang kian marak terjadi, pasukan itu diberi nama satgas M…., satgas itu dipecah menjadi 5 regu kecil yang di pimpin oleh perwira berpangkat letnan dan ada juga bintara berpangkat sersan. dan satu regu inti yang dipimpin oleh seorang perwira pertama berpangkat kapten dimana regu-regu yang tergabung dalam satgas M…. itu ditempatkan di beberapa daerah rawan di Irian Jaya, seluruh anggota satgas ini pada awalnya ditempatkan secara terbuka dan membaur dengan masyarakat walhasil satgas ini cukup diterima oleh para penduduk didaerah dimana mereka ditempatkan, hal tersebut terbukti dengan disambutnya mereka semenjak kedatangan pertama kalinya kedaerah tersebut, sebenarnya ada salah satu regu yang merasa dongkol karena dikelabui oleh oleh sikap ramah penduduk yang awal mulanya menawarkan mereka untuk bermalam disalah satu rumah yang menurut seorang kepala desa dan juga warga sekitar adalah tempat yang aman, namun karena regu itu melihat kepolosan dan niat baik warga yang ramah terhadap mereka sehingga sang Danru yang berpangkat sersan kepala itu menerima ajakan tersebut dengan senang hati, kemudian Danru memerintahkan seluruh anggotany untuk menaruh ransel dan beristirahat dirumah yang telah disediakan itu, Danru pun menyusul anggotanya yang sudah terlebih dulu masuk kerumah karena sebelumnya ia bercakap-cakap dulu dengan kepala desa di halaman rumah itu, lalu sekitar pukul 20:00 kepala desa dan beberapa warganya membawa makanan yang khusus dibuatkan untuk menjamu regu itu, lalu merekapun(regu) melahap dan menikmati makanan itu karena mereka(regu) menyadari sejak kedatanganny siang tadi mereka belum makan sedikitpun lalu setelah mereka makan, mereka pun sempat berbincang-bincang untuk mengakrabkan dengan warga namun tak terasa waktu sudah larut malam bahkan bisa dikatakan sudah tengah malam lalu warga pun pulang, setelah itu Danru membagi 2 giliran untuk berjaga diteras. dimana 3 orang berjaga dan 3 lainya serta danru beristirahat tidur.
*KONTAK TEMBAK PERTAMA*
kurang lebih baru sekitar 45 menit 3 personil yang mendapat kesempatan berjaga giliran pertama, rumah itu dihujani peluru oleh sekelompok orang tak dikenal dan ternyata setelah dilakukan pengejaran dan berhasil menangkap, sekelompok orang yang memuntahkan peluru kearah rumah itu adalah OPM yang mendapat laporan dari kepala desa dan warga tadi, ternyata kepala daerah dan beberapa warga tersebut memang diancam OPM untuk melapor apabila ada pasukan yang berada TNI dikampungnya. memasuki minggu kedua satgas M…. bertugas, hampir seluruh regu telah mengalami kontak tembak, bahkan ada salah satu regu yang telah mengalami sebanyak 3 kali kontak tembak dengan kelompok separatis.
*MENJADI PENGHUNI HUTAN*kurang lebih baru sekitar 45 menit 3 personil yang mendapat kesempatan berjaga giliran pertama, rumah itu dihujani peluru oleh sekelompok orang tak dikenal dan ternyata setelah dilakukan pengejaran dan berhasil menangkap, sekelompok orang yang memuntahkan peluru kearah rumah itu adalah OPM yang mendapat laporan dari kepala desa dan warga tadi, ternyata kepala daerah dan beberapa warga tersebut memang diancam OPM untuk melapor apabila ada pasukan yang berada TNI dikampungnya. memasuki minggu kedua satgas M…. bertugas, hampir seluruh regu telah mengalami kontak tembak, bahkan ada salah satu regu yang telah mengalami sebanyak 3 kali kontak tembak dengan kelompok separatis.
Menginjak bulan kedua pada masa penugasan 3 dari 6 regu diperintahkan untuk mengikis musuh di hutan-hutan, mereka setidaknya akan menjadi penghuni hutan selama 2bulan, karena setiap 2bulan sekali mereka akan berganti posisi dengan 3 regu lainya di kota, mereka yang bertugas menjadi penghuni hutan bertugas melakukan pengejaran bahkan tidak jarang juga melakukan penyerbuan sehingga nama satgas ini dikalangan musuh cukup ditakuti ,dikarenakan satgas ini dalam berbagai kontak tembak sering sekali berhasil menembak mati musuhnya dan juga cukup membuat musuh kewalahan dan juga tidak jarang pula satgas itu melakukan penyerangan dan penyergapan yang tidak terduga bahkan sulit ditebak terhadap basis-basis musuh di pedalaman hutan di Irian Jaya. pada saat rotasi pertama yaitu tepatnya pada saat menginjak bulan ke 4 pasukan yang bertugas dihutan mendapat tugas yang cukup berat yaitu karena pada saat 3 hari setelah mereka melakukan rotasi dengan regu yang bertugas sebelumnya terjadi penculikan terhadap 2 orang warga sipil asal pulau jawa yang berprofesi sebagai jurnalis, kedua orang itu diculik dan ditawan oleh opm ketika dia mewawancarai warga salah satu suku pedalaman didaerah W….. tujuan mereka datang ke irian adalah untuk menulis tentang bagaimana kehidupan suku pedalaman di irian. berita tentang penculikan tersebut didapat dari beberapa orang warga yang menjadi saksi dan juga diyakinkan oleh berita intelijen dilapangan
*MINUM AIR KUBANGAN BABI*
Kabar penculikan tersebut tersiar hingga Jakarta sehingga petinggi militer pun memerintahkan pasukan TNI untuk membebaskan drama penculikan tersebut, dan ternyata regu 4 dan 5 dari satgas M lah yang diberi amanat untuk membebaskan sandera tersebut dikarenakan posisi kedua regu itulah yang paling dekat dengan sas, setelah mendapat PO dari DanSatgas mereka pun berangkat menjalankan operasi yang telah diperintahkan dimana regu 4 diperintahkan sebagai penyerbu dan penjemput sandera sedangkan regu 5 sebagai penutup pelarian. menurut berita intelijen penyandera menyekap sandera tersebut disebuah hutan di pegunungan didaerah W….., regu 4 berangkat terlebih dahulu dengan selang waktu kurang lebih 1/2jam dan disusul regu 5, perjalanan menuju sas krg lebih memakan waktu 2hari dengan berjalan kaki, regu tersebut hanya membawa logistik makanan seminim mungkin yang sepertinya memang tidak cukup untuk 2 hari, hal tersebut dikarenakan bahwa posisi sas yang tidak terlalu jauh serta agar kerahasiaan operasi tetap terjaga dimana mereka mengantisipasi akan adanya beberapa pos tinjau opm, mereka membawa senjata serta peluru sedikit lebih banyak sebagai cadangan dan tak lupa juga membawa air yang mereka isikan pada peples.
Setelah melakukan pengendapan selama kurang lebih 18jam kedua regu itu memutuskan untuk beristirahat makan dan tidur sejenak, mereka beristirahat dibawah rimbunya dedaunan bahkan ada pula yang tertidur di atas dahan pepohonan setelah kurang lebih 3jam mereka beristirahat mereka melanjutkan kembali pengendapan namun sekarang regu 5 mengendap bersama-sama dengan regu 4, setelah lebih kurang 8jam mereka mengendap ternyata mereka menyadari bahwa seluruh air dalam peples personil sudah habis sedari mereka terakhir beristirahat beberapa jam lalu dan dehidrasi pun tidak dapat dihindari namun mereka tetap melanjutkan pengendapan, tak disangka setelah 1jam mereka berjalan betapa senangnya mereka karena menemukan sebuah genangan air atau bisa juga disebut kolam kecil meskipun air tersebut keruh bahkan berwarna cokelat ternyata setelah diamati air itu adalah air bekas kubangan babi, namun tanpa berpikir panjang seluruh anggota pun meminumnya bahkan ada sebagian yang menggunakan helmnya sebagai gelas bahkan ada pula yang mengisi peplesnya dengan air tersebut, mereka pun melanjutkan kembali perjalananya, setelah mereka berjalan kurang lebih 3jam mereka mendengar suara gemuruh seperti suara air di sungai lalu mereka mendekat ke arah suara tersebut berasal dan ternyata dugaan mereka benar, suara itu memang suara gemuruh air sungai dengan air yang jernih, melihat sungai itu beberapa anggotapun mengumpat karena betapa dongkolnya mereka karena jika saja mereka bersabar untuk tidak meminum air kubangan babi tadi, tanpa ada yang mengkomando semua personil pun meminum air sungai yang jernih tersebut untuk memuaskan dan melampiaskan rasa kesal mereka bahkan air dalam peples yang mereka isi dengan air kubangan babi tadi pun mereka buang dan mereka ganti dengan air yang jernih itu.
*PEMBEBASAN SANDERA*
pada saat mereka akan bergegas untuk melanjutkan perjalanan bahkan ada beberapa prajurit yang masih meminum air terdengar suara desingan peluru yang ternyata mengarah kepada mereka dan seorang letda danru 4 melihat dari kejauhan ada 6 orang opm bersenjata yang salah satunya memuntahkan peluru laluj 6 orang opm itu pun berlari, melihat itu letda pun berteriak sangat keras ia meneriakan KOMANDO!!!! dimana teriakan itu adalah teriakan khas mereka bila bertemu musuh dihutan kemudian seluruh prajurit pun meneriakan komando pula seraya berlari mengejar orang-orang yang menembaki mereka, mungkin karena setelah belasan jam mengendap tetapi baru sekarang prajurit-prajurit itu menemukan musuh sehingga mereka bersemangat mengejar bahkan sesekali mengeluarkan tembakan kearah opm itu, ternyata peluru yang mereka tembakan tidak sia-sia karena tembakan-tembakan itu mengenai dan melumpuhkan 4 dari 6 orang opm itu namun 2 lainya berhasil kabur, tembakan itu mengenai 4 orang dimana 3 orang tewas seketika dan satu orang lainya sempat diinterogasi sebelum akhirnya tewas juga, lokasi kontak tembak dengan sas sekitar 10 jam dan diperkirakan 6 orang opm tadi berasal dari pos tinjau yang berada tidak terlalu jauh dengan sas.
pada saat mereka akan bergegas untuk melanjutkan perjalanan bahkan ada beberapa prajurit yang masih meminum air terdengar suara desingan peluru yang ternyata mengarah kepada mereka dan seorang letda danru 4 melihat dari kejauhan ada 6 orang opm bersenjata yang salah satunya memuntahkan peluru laluj 6 orang opm itu pun berlari, melihat itu letda pun berteriak sangat keras ia meneriakan KOMANDO!!!! dimana teriakan itu adalah teriakan khas mereka bila bertemu musuh dihutan kemudian seluruh prajurit pun meneriakan komando pula seraya berlari mengejar orang-orang yang menembaki mereka, mungkin karena setelah belasan jam mengendap tetapi baru sekarang prajurit-prajurit itu menemukan musuh sehingga mereka bersemangat mengejar bahkan sesekali mengeluarkan tembakan kearah opm itu, ternyata peluru yang mereka tembakan tidak sia-sia karena tembakan-tembakan itu mengenai dan melumpuhkan 4 dari 6 orang opm itu namun 2 lainya berhasil kabur, tembakan itu mengenai 4 orang dimana 3 orang tewas seketika dan satu orang lainya sempat diinterogasi sebelum akhirnya tewas juga, lokasi kontak tembak dengan sas sekitar 10 jam dan diperkirakan 6 orang opm tadi berasal dari pos tinjau yang berada tidak terlalu jauh dengan sas.
Tak lama setelah kontak tembak usai kedua regu itu melakukan perjalananya kembali namun setelah mereka berjalan kurang lebih 4jam dari posisi sebelumnya mereka mendapatkan informasi intelijen bahwa pihak penyandera telah mengetahui akan kedatangan mereka sehingga apabila kedua regu itu memaksa mendekati sas maka sandera akan langsung dieksekusi namun pihak penyandera(OPM) terkesan seperti menantang regu tersebut karena opm telah mengetahui bahwa pasukan yang akan membebaskan sandera itu adalah prajurit baret merah maka pihak penyandera(OPM)memberi syarat apabila menginginkan sandera bebas dan keluar secara hidup-hidup sandera tersebut harus dijemput aleh seorang prajurit(seorang diri)tanpa membawa senjata,radio, bahkan sangkur(pisau komando) setelah mendiskusikan hal tersebut melalui radio terhadap kapten(dansatgas)yang berada dikota maka diambil keputusan untuk menyanggupi syarat-syarat yang diajukan Opm itu dan mengenai siapa prajurit yang akan menjemput, kapten tersebut menyerahkan keputusannya terhadap kedua regu itu mengingat bahwa merekalah yang paling dekat dengan sas, maka kedua regu yang berjumlah 14 personil itu pun mengundi siapa yang akan berngkat untuk menjemput(merapat ke sas) dan didapatlah seorang bintara berpangkat sersan kepala dimana ia tak lain adalah danru 5.
Namun hal itu pertamanya ditentang oleh danru 4 yang berpangkat letda bahwa seharusnya ialah(danru4)yang berangkat karena ia(danru4) takut bahwa opm tidak akan menepati janjinya sehingga takut jika danru5 yang berangkat tidak akan kembali membawa sandera dalam keadaan hidup-hidup bahkan prajurit yang menjemputpun akan ikut dibunuh, sehingga ia(danru4) rela mengambil resiko untuk berangkat menjemput sandera karena mengingat dia(danru4)adalah satu-satunya perwira di kedua regu tersebut namun danru5 tetap bersikukuh bahwa memang ialah(danru5)yang harus berangkat karean ia(danru5)yakin bahwa penyandera akan menepati janji, lalu sang serka itu pun berbicara sambil tersenyum pada letda dan mengatakan “biar saya yang berangkat, soalnya bapak kan belum sempat nikah, dan saya yakin tuhan bersama saya” mendengar kata-kata itu sang letda dan seluruh personil lain pun terlihat cemas.
Kemudian berangkatlah sang serka tersebut dengan bermodal keberanian serta nalurinya yang percaya bahwa musuh akan menepati janjinya sebelum berangkat sang serka melepas helm yang dikenakannya dan menggantinya dengan baret asal kesatuanya yaitu baret merah lalu letda itu menyarankan agar ia(danru5)membawa pistol dan diikatkan dikaki namun sang serka pun kembali menolak, serka itu harus menempuh perjalanan kurang lebih 6jam menuju sas ia berjalan sembari mebaca do’a yang saat itu terlintas dipikiranya dengan maksud agar ia tak gentar apabila bertemu musuh nanti, setelah berjalan selama 4jam ia bertemu 2 orang anggota opm yang bersenjatakan senapan laras panjang yang ternyata ditugaskan untuk menjemput dia, kemudian salah satu anggota opm itu memeriksa badan dia(danru5)dengan maksud memastikan bahwa dia memang tidak membawa senjata, setelah opm itu benar-benar percaya bahwa memang tidak ada senjata yang disembunyikan lalu kedua mata serka pun ditutup seutas kain, dan merekapun melanjutkan perjalanan, sang serka berjalan sembari dibayang-bayangi oleh opm yang tak henti-hentinya menodongkan senapan, setelah mereka berjalan selama kurang lebih 2 jam sampailah mereka di suatu gubuk yang terlihat cukup besar yang disekelilingnya dikelilingi oleh anggota-anggota opm yang bersenjata senapan laras panjang hingga panah lengkap beserta anak panahnya, terlihat sekali tatapan anggota opm-opm itu yang sepertinya tidak sabar untuk segera menembak dia(danru5). lalu dari dalam gubuk terlihat seorang pria paruh baya yang tak lain adalah pemimpin basis opm daerah itu berjalan keluar menemuinya, lalu serka tadipun diajaknya masuk kedalam dan diperlihatkanlah kondisi kedua sandera yang terlihat sehat walaupun wajah mereka terlihat sangat pucat, lalu pemimpin opm tadi memerintahkan anak buahnya untuk melepaskan ikatan yang terikat pada tangan dan kaki kedua sandera tersebut, setelah ikatan tadi terlepas sang serka melihat ekspresi bahagia dari kedua sandera tadi lalu mereka bertiga(2 sandera dan serka) diajak oleh pemimpin opm tadi untuk memakan buah merah disalah satu ruangan, kedua sandera tersebut terlihat sangat lahap sekali sehingga sang serka pun tersenyum, ketika sang serka melahap buah merah tadi pemimpin opm berbicara bahwa “baru sekali ini saya melihat kedamaian datang dari seorang prajurit TNI, karena kalian biasanya datang untuk menembak kami namun kali ini tidak” lalu serka pun menjawab “saya datang kesini tidak lebih hanya untuk menjalankan tugas saya menjemput sandera” mendengar jawaban serka tersebut pemimpin opm itu terharu lalu mengajak mereka bertiga berfoto bersama, seusai berfoto ketiga orang tersebut(2 sandera dan serka) berpamitan untuk pulang dan berjalan keluar dari dalam gubuk itu ternyata pemimpin opm tadi memanggil dan terlihat membawa sebuah benda berbentuk kotak dan berukuran kecil yang ternyata adalah walkman, lalu walkman itu pun diberikanya kepada sang serka sebagai sebuah kenang-kenangan lalu sang serka pun melepaskan sebuah jam tangan yang dipakai pada lengan kananya dan diberikan untuk pemimpin opm tadi sembari berbisik “ini adalah tanda bahwa saya pernah datang kesini, tolong disimpan” lalu ketiga orang itu pun(2 sandera dan serka) berjalan untuk pulang dengan mata tertutup kain hitam dengan dikawal dua orang anggota opm bersenjata yang mengantar hingga jarak kurang lebih satu jam menjauh dari gubuk tadi dan akhirnya ketiga orang itu ditinggalkan oleh dua orang opm tadi yang langsung lari menjauh, dan akhirnya sang serka melepaskan ikatan kain penutup tadi dari kepalanya dan kedua sandera itu lalu mereka melanjutkan kembali berjalan dan beberapa jam kemudian mereka sampai di tempat kedua regu (4 dan 5) itu berkumpul, mereka datang dengan disambut penuh kegembiraan dan keharuan.
http://bpn16.wordpress.com/2010/09/10/kisah-kopassus-membebaskan-sandera-di-papua/